Hai gan………
Dalam pembahasan judul di atas saya punya sedikit pengetahuan untuk di utarakan disini, mungkin tidak terlalu menarik atau bagus tapi dalam cerita sya kali ini bagi umat khatolik harus baca artikel ini untuk menambah pengetahuan yang selama ini mungkin ada yang belum kalian tahu….
Ok……..
Tentang masuknya agama Khatolik di Flores Timur, khususnya Solor dan Larantuka. Ini penting karena umat khatolik di sana paling lama atau tertua untuk di Indonesia.Napa bisa gitu………….????????
Itu dilihat dari Orang jawa yang di permandikan sebagai jemaat Khatolik pada 14 Desember 1904 di Sendagsono, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta, kalau di Solor dan Larantuka Malah sejak abad Ke-16. Lamaanyaaaaaaaaa………… itu………..
Artinya, orang Flores Timur dahulu kala lebih dulu sekitar 3 ratusan tahun megenal agama Khatolik ketimbang Umat yang ada di pulau jawa, ya….. dilihat statistik di atas.
Menurut Catatan sejarah, umat Flores tahu akan agama khatolik itu datingnya pedagang portugis yang tinggal di Solor, pulau kecil di depan Larantuka. Mula-mula berdagang, cari rempah2 di sekitar. Dengan bergulirnya waktu akhirnya mereka punya rumah sederhana untuk berteduh. Orang portugis ini mula berdoa ala khtolik di sana. Dan pada tahun 1561 empat pater Ordo Dominikan di kirim dari Melaka ke solor.
Empat pater itu menetap di Solor. Selain melayani pedagang-pedagang Portugis, para misionaris itu mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing, agama baru, tidak diterima begitu saja. Terjadi sejumlah perlawanan berdarah-darah. Asal tahu saja, orang Flores pada abad-abad itu dikenal suka perang dan berburu. Lihat saja, tari perang sangat populer sampai sekarang, bukan?
Untuk melindungi diri dari serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong, Kecamatan Solor Timur sekarang. Penyebaran agama Katolik di Kepulauan Solor [sekarang Kabupaten Flores Timur] sukses besar. Berdasar catatan Mark Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang baru saja melakukan reportase di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan fasilitas lain.
Bahkan, sebuah seminari dibikin di dalam Benteng Lohayong tersebut. Pada tahun 1600 sedikitnya ada 50 siswa [seminaris] yang belajar mempersiapkan diri sebagai rohaniwan Katolik. Beta bisa pastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Ada gereja bernama Nossa Senhora da Piedade. Beberapa tahun kemudian dibangun Gereja São João Baptista. Singkat cerita, hingga 1599 misionaris perintis ini berhasil mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya.
Namun, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis ternyata kalah setelah berperang tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Kompeni-kompeni Londo ini mengganti nama benteng menjadi Benteng Henricus.
Solor tempo dulu rupanya sangat menggiurkan. Tidak macam Solor sekarang yang kering, terisolasi, kurang maju, dengan penduduk yang suka jualan jagung titi dan atanona (srikaya) di Larantuka. Tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong [ibukota Solor], tapi datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada 1629-30, dan segera diisi kembali oleh Portugis hingga 1646 ketika diusir lagi oleh Belanda.
Yah, Portugis ternyata selalu kalah dengan Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Portugis juga cenderung pengecut lah! Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Berantakan. Melihat suasana yang tidak kondusif--meminjam bahasanya polisi sekarang--pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.
Selanjutnya, Larantuka yang berada di pinggir laut itu menjadi pusat misi Katolik di Nusa Tenggara Timur, kemudian Timor Timur, bahkan Indonesia. Misi di Larantuka ternyata jauh lebih sukses. Ini karena ada traktat antara Belanda dan Portugis untuk membiarkan para pater Dominikan menyebarkan agama Katolik di seluruh Flores dan sekitarnya. Di dekat Larantuka juga dibikin seminari.
Yoseph Yapi Taum, peneliti dan dosen Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, menulis:
"Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores. Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka.
Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik."
Kota Larantuka juga berkembang sebagai kota pelabuhan yang penting. Karena penduduknya didominasi warga Melayu Katolik pelarian dari Malaka, maka bahasa sehari-hari alias lingua franca pun bahasa Melayu. Hanya saja, bahasa Melayu Larantuka ini sudah tercampur bahasa Lamaholot [bahasa asli di Flores Timur] serta istilah-istilah Portugis.
Orang Larantuka kemudian dikenal sebagai penjaga tradisi Katolik-Portugis sampai hari ini. Setiap Jumat Agung penduduk Larantuka mengadakan perarakan keliling kota sepanjang malam yang disebut Semana Santa. Padahal, konon, di Portugis sendiri tradisi abad ke-16 ini sudah tidak ada lagi. Apalagi, orang Portugis seperti orang Eropa umumnya, makin sekuler dan nyaris tidak berminat lagi pada agama.
Kembali ke Pulau Solor dengan benteng di Lohayong alias Fort Hendricus. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Jangankan dirawat sebagai cagar budaya, tonggak sejarah masuknya agama Katolik di Indonesia. Ditengok saja hampir tidak pernah. Ketika beta tinggal di Larantuka medio 1980-an, beta tak pernah melihat ada kunjungan wisata ke Lohayong. Orang-orang Larantuka [Nagi] malah sering melihat orang Solor dengan sebelah mata.
Orang-orang Solor sering diejek sebagai "orang Sopung" dengan begitu banyak cerita konyol. Mirip dengan orang Madura di Jawa Timur yang kerap diledek sebagai bahan guyonan. Celakanya, pemerintah daerah pun tidak sadar sejarah. Aset sejarah yang luar biasa ini tak pernah dipromosikan. Alih-alih dipromosikan, sekadar ditengok saja pun tak.
Karena itu, beta sangat gembira ketika membaca di internet ada tulisan/foto karya Mark Schellekens dan Greg Wyncoll. Dua orang ini jauh-jauh datang dari Eropa untuk meneliti semua peninggalan sejarah Portugis di Indonesia. Cerita dan foto tentang peninggalan Portugis di Solor seperti benteng atau meriam tua mendapat porsi paling besar.
Lha, kok kita, orang Flores Timur, orang Katolik, justru mengabaikannya. Apa boleh buat, kita terpaksa mempelajari sejarah kampung halaman kita sendiri dengan merujuk pada sumber-sumber di Eropa. Mau bilang apa?
Kalau boleh usul Pemda bisa agendakan sebagai wisata religius bertepatan dengan prosesi Samana Santa setiap tahun sehingga bisa lebih di kenal luas.... tks.
BalasHapus