xxxxxx

Rahasia Membuat Blog yang Ramai Dikunjungi

Rahasia Membuat Blog yang Ramai Dikunjungi Blog yang ramai, banyak yang mengakses, banyak yang melihat, banyak yang berkunjung. Itu pasti keinginan sebagian besar blogger, termasuk saya :). Bukan hal mudah untuk membuat blog menjadi ramai, tetapi juga tidak sulit untuk mewujudkan blog yang ramai. Terinspirasi dari tulisan sederhana saya dulu yang posting di sini, ternyata hari ini setelah 3 tahun kembali saya temukan. Ternyata lumayan banyak yang membaca dan berkomentar.

Sebenarnya ini ceritanya mau memindahkan postingan, tapi buka dengan cara copy paste langsung melainkan dengan cara menulis kembali. Bisa ditiru juga, kalau mau memindahkan postingan jangan copy paste, dikhawatirkan bisa menjadikan duplikat post. Baiklah, kita buka kembali rahasia untuk membuat blog ramai pengunjung itu:

Posting dengan Rutin dan Original
Ini penting, jika blog kita lama tidak pernah kita update, ya tentu saja Mr google akan menurunkan posisi kita, dan juga pembaca akan bosan, mencari yang baru. Walau tidak sering tetapi haruslah rutin, misal 4 kali sebulan. pastikan juga yang kita posting adalah tulisan yang original, bukan copy paste.

Perhatikan Link yang Masuk dan yang Keluar
Usahakan lebih banyak link yang menuju blog kita, tetapi kita juga harus memasang link keluar, ke blog atau website lain. Mungkin perbandingannya 3 link yang menuju blog kita dan 2 Link yang kita pasang keluar. Link masuk bisa kita peroleh dengan blog walking, meningalkan jejak, dan berkomentar di blog orang lain. Link yang kita pasang yang biasanya sebagai blogroll atau menautkan di postingan, usahakan ke blog-blog yang mempunyai page rank yang tinggi.

Optimalkan Blog dengan SEO
Kita harus mengoptimalkan blog kita, artinya yang bekerja agar blog banyak dikunjungi orang adalah blog kita sendiri. Contoh-contoh yang bisa kita lakukan untuk mengoptimalkan blog kita adalah, menganti judul blog dengan judul postingan, menambahkan meta tag, mendaftarkan blog kita ke goole, dan sebagainya.

Manfaatkan Sosial Media yang Lain
Selain tergantung dari search engine, di zaman yang sekarang ini kita juga harus mampu memanfaatkan sosial media yang lain untuk menyebarkan link postingan terbaru. Sosial media atau situs jejaring sosial itu yang populer saat itu, semisal twitter, facebook, google+ dan lain-lain. Sosial media atau situs bookmarking untuk berbagi link menarik, kalau di Indonesia semisal Ureport-nya Vivanews atau Lintas Berita.

Itulah rahasia membuat blog yang ramai dikunjungi, sehingga bukan menjadi rahasia lagi. Blog adalah media dan tentunya saja blog milik kita bisa seperti sebuah merk atau brand. Jadi bangunlah brand itu dengan baik, sehingga banyak pelanggan, banyak pembaca sehingga menjadi ramai.

Sejarah Adonara

                                    Gunung Boleng di Pulau Adonara



Adonara adalah sebuah pulau kecil yang cukup subur di ujung timur pulau flores.
SIAPAKAH nenek moyang orang Adonara? Sesuai penuturan adat turun temurun, sebagaimana dikemukakan tokoh masyarakat Adonara, H Syamsudin Abdullah (75), orang asli Adonara adalah turunan seorang wanita yang bernama Sedo Lepan. Wanita ini adalah manusia primitif paling pertama yang menghuni Pulau Adonara. Tubuhnya ditumbuhi bulu lebat. Wanita pertama ini muncul bersamaan dengan timbulnya Gunung Boleng.

 Pada suatu saat terjadilah suatu keajaiban yang luar biasa dimana tubuh Sedo Lepan ini "pecah" dan keluarlah seorang wanita lagi yang kemudian dikenal dengan nama Kewae Sedo Bolen. Saat itu, di Pulau Adonara belum ada manusia lain selain wanita ini. Selama bertahun-tahun ia hidup sendirian di lereng Ile (gunung) Boleng. Kemudian suatu ketika, datanglah seorang laki-laki dari pantai selatan Pulau Lembata yang bernama Kelake Ado Pehan. Ia diusir dari Lembata karena dituduh sebagai seorang suanggi yang menyebabkan meletusnya Gunung Adowojo. Ia lari dengan menggunakan sebuah perahu yang terbuat dari sebatang kelapa dan terdampar di pantai utara Adonara.

Singkat kisah, Kelake Ado Pehan kemudian bertemu dengan Kewae Sedo Bolen di puncak Ile Boleng sehingga keduanya menikah. Dari pernikahan kedua manusia pertama di Pulau Adonara itu, kemudian lahirlah tujuh putra yakni Lado Ipa Jarang yang keturunannya ada di Boleng, Mado Paling Tale (keturunannya ada di Doken), Beda Geri Niha (keturunannya ada di Nihaona), Duli Ledan Labi (keturunannya di Lewoduli), Kia Kara Bau (keturunannya ada di Wokablolon-Kiwang Ona), Kia Lali Tokan (keturunannya ada di Lewobelek) dan Sue Buku Toran yang ke Lewojawa-Lamahala.

Nama Adonara terdapat dua pengertian. Adonara berasal dari kata "Ado" dan "Nara". Ado ini mengingatkan orang Adonara akan pria pertama yang hidup di pulau itu yakni Kelake Ado Pehan. Sedangkan "Nara" artinya kampung, bangsa, kaum kerabat. Jadi Adonara artinya Ado punya kampung, Ado punya suku bangsa, Ado punya keturunan dan kaum kerabat.

Adonara juga berasal dari kata Adoknara. "Adok" yang yang berarti mengadu domba dan "nara" yang artinya kampung, suku bangsa, kaum kerabat, golongan atau Puak. Jadi Adoknara artinya mengadudomba warga antarkampung, suku bangsa, kaum kerabat. Pengertian ini merujuk pada watak khas orang Adonara yang "gemar" berperang. Jika hendak berperang, maka para pihak akan menghubungi "nara" yakni keluarga, saudara, kaum kerabat di kampung lainnya agar memihak kepada mereka dalam perang tanding.

Adonara juga sering dikaitkan dengan adu darah, yakni perang tanding yang terjadi di pulau itu. "Dulu di Adonara dan Lembata masih dikenal dengan istilah perang antara Paji dan Demong. Dimana kelompok Demong berasal dari Lewopoti, Lewoleba, Tana Boleng, Horohura, Lewomang, Wollo dan Baipito. Sementara kelompok Paji berasal dari Menanga, Lamahala, Lamakera, Lebala dan Watampao," tutur Haji Syamsudin.

Apa pun pengertiannya saat ini masih sering kita dengar pertikaian berdarah di Adonara. Masalah tanah terutama menjadi pemicu terjadinya perang tanding. Watak menyelesaikan sengketa tanah dengan cara kekerasan ini - sesuai ceritra rakyat - disebabkan nenek moyang orang Adonara ditempa dengan kehidupan yang keras, dimana peristiwa pertumpahan darah sudah merupakan hal biasa.

Seorang tokoh muda asal Lembata, Muhamad Sengnama, mengatakan, anggapan bahwa orang Adonara sampai saat ini masih identik dengan sifat-sifat keras dan selalu ingin saling membunuh itu tidak benar. Orang Adonara tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan bahkan sampai membunuh kalau ada masalah yang menyangkut hal-hal prinsip semisal harkat dan harga diri pribadi, suku dan kampung.

"Tapi sekarang di Adonara sudah banyak masyarakat terpelajar. Banyak orang pintar di NTT bahkan Indonesia yang berasal dari Adonara. Sekarang ini yang harus dilakukan oleh orang Adonara yakni bagaimana menghilangkan image orang luar tentang perilaku keras itu," ujar Sengnama. (eko)


Benteng Lohayong Dan Sejarah Masuknya Agama Khatolik Di Flores

Sejarah Masuknya Agama Katolik Di flores Meninggalkan Benteng Lohayong

    Hai gan………
Dalam pembahasan judul di atas saya punya sedikit pengetahuan untuk di utarakan disini, mungkin tidak terlalu menarik atau bagus tapi dalam cerita sya kali ini bagi umat khatolik harus baca artikel ini untuk menambah pengetahuan yang selama ini mungkin ada yang belum kalian tahu….

Ok……..
Tentang masuknya agama Khatolik di Flores Timur, khususnya Solor dan Larantuka. Ini penting karena umat khatolik di sana paling lama atau tertua untuk di Indonesia.Napa bisa gitu………….????????

Itu dilihat dari Orang jawa yang di permandikan sebagai jemaat Khatolik pada 14 Desember 1904 di Sendagsono, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta, kalau di Solor dan Larantuka Malah sejak abad Ke-16. Lamaanyaaaaaaaaa………… itu………..

Artinya, orang Flores Timur dahulu kala lebih dulu sekitar 3 ratusan tahun megenal agama Khatolik ketimbang Umat yang ada di pulau jawa, ya….. dilihat statistik di atas.

Menurut Catatan sejarah, umat Flores tahu akan agama khatolik itu datingnya pedagang portugis yang tinggal di Solor, pulau kecil di depan Larantuka. Mula-mula berdagang, cari rempah2 di sekitar. Dengan bergulirnya waktu akhirnya mereka punya rumah sederhana untuk berteduh. Orang portugis ini mula berdoa ala khtolik di sana. Dan pada tahun 1561 empat pater Ordo Dominikan di kirim dari Melaka ke solor.

Empat pater itu menetap di Solor. Selain melayani pedagang-pedagang Portugis, para misionaris itu mewartakan Injil ke penduduk lokal. Kehadiran orang asing, agama baru, tidak diterima begitu saja. Terjadi sejumlah perlawanan berdarah-darah. Asal tahu saja, orang Flores pada abad-abad itu dikenal suka perang dan berburu. Lihat saja, tari perang sangat populer sampai sekarang, bukan?

Untuk melindungi diri dari serangan penduduk lokal, pada 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun benteng di Lohayong, Kecamatan Solor Timur sekarang. Penyebaran agama Katolik di Kepulauan Solor [sekarang Kabupaten Flores Timur] sukses besar. Berdasar catatan Mark Schellekens dan Greg Wyncoll, penulis dan fotografer yang baru saja melakukan reportase di Solor, di dalam banteng itu dibangun asrama, gereja, dan fasilitas lain.

Bahkan, sebuah seminari dibikin di dalam Benteng Lohayong tersebut. Pada tahun 1600 sedikitnya ada 50 siswa [seminaris] yang belajar mempersiapkan diri sebagai rohaniwan Katolik. Beta bisa pastikan inilah seminari Katolik pertama di Indonesia. Ada gereja bernama Nossa Senhora da Piedade. Beberapa tahun kemudian dibangun Gereja São João Baptista. Singkat cerita, hingga 1599 misionaris perintis ini berhasil mendirikan 18 gereja di Solor dan sekitarnya.

Namun, kekuasaan Portugis tidak bertahan lama. Pada 27 Januari 1613 sebuah armada Belanda datang ke Solor. Kapten Manuel Alvares mengerahkan 30 orang Portugis serta seribu penduduk lokal untuk mempertahankan benteng di Lohayong. Portugis ternyata kalah setelah berperang tiga bulan. Pada 18 April 1613 benteng itu jatuh ke tangan Belanda. Kompeni-kompeni Londo ini mengganti nama benteng menjadi Benteng Henricus.

Solor tempo dulu rupanya sangat menggiurkan. Tidak macam Solor sekarang yang kering, terisolasi, kurang maju, dengan penduduk yang suka jualan jagung titi dan atanona (srikaya) di Larantuka. Tahun 1615 Belanda meninggalkan Lohayong [ibukota Solor], tapi datang lagi tiga tahun kemudian. Entah kenapa, Belanda melepaskan benteng pada 1629-30, dan segera diisi kembali oleh Portugis hingga 1646 ketika diusir lagi oleh Belanda.

Yah, Portugis ternyata selalu kalah dengan Belanda meski jumlah pasukannya lebih banyak. Portugis juga cenderung pengecut lah! Tentu saja, perang terus-menerus antara sesama penjajah ini membuat kekatolikan yang masih sangat muda tidak berkembang. Berantakan. Melihat suasana yang tidak kondusif--meminjam bahasanya polisi sekarang--pater-pater Dominikan memindahkan markasnya ke Larantuka.

Selanjutnya, Larantuka yang berada di pinggir laut itu menjadi pusat misi Katolik di Nusa Tenggara Timur, kemudian Timor Timur, bahkan Indonesia. Misi di Larantuka ternyata jauh lebih sukses. Ini karena ada traktat antara Belanda dan Portugis untuk membiarkan para pater Dominikan menyebarkan agama Katolik di seluruh Flores dan sekitarnya. Di dekat Larantuka juga dibikin seminari.

Yoseph Yapi Taum, peneliti dan dosen Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, menulis:

"Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores. Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka.

Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik."

Kota Larantuka juga berkembang sebagai kota pelabuhan yang penting. Karena penduduknya didominasi warga Melayu Katolik pelarian dari Malaka, maka bahasa sehari-hari alias lingua franca pun bahasa Melayu. Hanya saja, bahasa Melayu Larantuka ini sudah tercampur bahasa Lamaholot [bahasa asli di Flores Timur] serta istilah-istilah Portugis.

Orang Larantuka kemudian dikenal sebagai penjaga tradisi Katolik-Portugis sampai hari ini. Setiap Jumat Agung penduduk Larantuka mengadakan perarakan keliling kota sepanjang malam yang disebut Semana Santa. Padahal, konon, di Portugis sendiri tradisi abad ke-16 ini sudah tidak ada lagi. Apalagi, orang Portugis seperti orang Eropa umumnya, makin sekuler dan nyaris tidak berminat lagi pada agama.

Kembali ke Pulau Solor dengan benteng di Lohayong alias Fort Hendricus. Saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Jangankan dirawat sebagai cagar budaya, tonggak sejarah masuknya agama Katolik di Indonesia. Ditengok saja hampir tidak pernah. Ketika beta tinggal di Larantuka medio 1980-an, beta tak pernah melihat ada kunjungan wisata ke Lohayong. Orang-orang Larantuka [Nagi] malah sering melihat orang Solor dengan sebelah mata.

Orang-orang Solor sering diejek sebagai "orang Sopung" dengan begitu banyak cerita konyol. Mirip dengan orang Madura di Jawa Timur yang kerap diledek sebagai bahan guyonan. Celakanya, pemerintah daerah pun tidak sadar sejarah. Aset sejarah yang luar biasa ini tak pernah dipromosikan. Alih-alih dipromosikan, sekadar ditengok saja pun tak.

Karena itu, beta sangat gembira ketika membaca di internet ada tulisan/foto karya Mark Schellekens dan Greg Wyncoll. Dua orang ini jauh-jauh datang dari Eropa untuk meneliti semua peninggalan sejarah Portugis di Indonesia. Cerita dan foto tentang peninggalan Portugis di Solor seperti benteng atau meriam tua mendapat porsi paling besar.

Lha, kok kita, orang Flores Timur, orang Katolik, justru mengabaikannya. Apa boleh buat, kita terpaksa mempelajari sejarah kampung halaman kita sendiri dengan merujuk pada sumber-sumber di Eropa. Mau bilang apa?

Jagung Titi

Uniknya Proses Pembuatan Jagung Titi


Jagung titi atau dalam bahasa Lamaholot (bahasa daerah setempat)Wata Kenaen merupakan makan pokok bagi masyarakat Adonara Adonara disamping Nasi. Sesuai dengan namanya, jagung titi terbuat dari biji jagung. Proses pembuatannya cukup unik. Jagung akan “dipreteli” atau dilepas dari batangnya menjadi biji jagung yang terpisah. Biji jagung ini kemudian disangrai (digoreng kering) dengan menggunakan wajan yang terbuat dari tanah liat.

Cara sangrainya pun tidak sekaligus semuanya, tetapi sekitar 5 – 10 biji setiap kali naik tungku Setelah dirasa cukup matang, biji jagung tersebut dikeluarkan kemudian dipipihkan dengan menggunakan 2 buah batu. Satu batu berfungsi sebagai alas dan yang lainnya menjadi pemukul. Untuk mengeluarkan biji jagung dari wajan yang masih panas, pembuat jagung titi yang pada umumnya adalah wanita Adonara tidak menggunakan spatula atau alat bantu lain tetapi hanya menggunakan tangan.


Dalam keadaan masih panas, jagung tersebut dipipihkan. Hasilnya adalah apa yang dikenal sebagai Jagung Titi. Kata titi merupakan dialek NTT untuk menyebutkan proses pemipihan jagung.

Tarian Adat Adonara Flores Timur

Tarian Hedung ( Adonara ) 

 
Dilihat dari alat dan gerak , Hedung merupakan tarian perang. Menurut yang punya cerita, Pulau Adonara di jaman dulu terekenal dengan “perang tanding” = perang antar keluarga, antara suku dan antar kapung.

Penyebab paling menonjol adalah soal batas wilayah dan hak atas kepemilikan tanah. Dari corak , tairan ini terkenal ada tiga jenis : Hedung Tubak Belo ( menggambarkan perang tanding), Hedung Hodi Kotek (menggambarkan acara penjemputan pasukan perang yang membawa pulang kepala sebagi tanda kemenangan), Hedung Megeneng Kabeleng (mengggambarkan acara penerimaan tamu )



Peralatan yang digunakan untuk membawakan tarian ini antara lain :

  • Kenube ( parang )
  • Gala ( tombak /lembing )
  • Doopi( perisai )
  • Kenobo (perhiasan di kepala terbuat dari daun kelapa atau daun lontar )
  • Gasing (alat yang dipasaang pada pergelangan kaki, yang berbunyi jika kaki dihentakan )
  • Gong Bawa ( gong gendang )
  • Gong Inang (Gong induk )
  • Gong Anang ( gong ank /kecil )
  • Keleneng dan tmirung,
    Gendang

Busana dalam membawakan tarian hedung ini yaitu :

1. Nowing ( kain sarung tenun asli daerah 0

2. Kelala ( ikat pinggang )

3. Senai ( kai selendan tenun asli daeraah)

Jumlah penari tifak tentu, sesuai dengan kebutuhan. Namun biasanya paling sedikit lima orang . penari terdepan bertindak sebagi pemandu. Ia memberikan aba aba /perintah bagi penari yang lainnya. Mereka meminkn gerak kaki , tangan kepala dan seluruh badan. Gerak dimulai dengan kaki kiri , gerak maju gerak mundur berputar ditempat, atau balik kanan,. Juga antar p[emain sering berhadapandan meragakan orang yang berperang ; gerak meikam dengan tombak, memotong dengan parang, atau menangkis dengan perisai , terkadang diikuti dengan teriakan histeris ……… ( Pokoknya klo dinonton pasti seru abissss….)

Belakang ini tarian Hedung lebih popular untuk acar p-enerimaan tamu. Menariknya tairan ini tidak ahanya dimainkan oleh pria namun juga oleh kaum wanita. Tarian ini sering dipentaskan di Adonara.

Prosesi DI Kota Larantuka

Larantuka (ANTARA News) - Larantuka hanyalah sebuah kota kecil terletak di kaki Gunung (Ile) Mandiri yang langsung berhadapan dengan lautan sempit di antara Pulau Adonara dan ujung timur Pulau Flores.

Menjelang prosesi Jumat Agung pada 6 April 2012, sebuah tradisi sakral dalam agama Katolik untuk memperingati wafat Yesus kristus, di Larantuka ibu kota Kabupaten Flores Timur itu sudah mulai dipadati para peziarah Katolik dari berbagai kota dan desa di Nusa Tenggara Timur (NTT), dan berbagai kota di Indonesia serta dari mancanegara.

Menurut Ketua Panitia Prosesi Samana Santa Kaum Awam Birokrat AntonTonce Matutina, hingga perayaan Rabu (4/4) Trewa, sudah tercatat ratusan peziarah Katolik dari berbagai kota dan desa di NTT serta dari beberapa kota lainnya di Indonesia, memasuki Kota Larantuka untuk menyambut perayaan Prosesi Jumat Agung yang telah dilaksanakan sejak 500 tahun lampau.

"Semua kamar hotel sudah penuh karena para tamu dari luar yang ingin mengikuti proses Jumat Agung sudah memesan kamar sejak Februari lalu. Mereka langsung membayar di muka sehingga para pemilik hotel tidak berani menerima tamu lain," kata Matutina yang juga Sekretaris Daerah Kabupaten Flores Timur itu.

Persoalan minimnya fasilitas hotel, bukanlah sebuah persoalan bagi panitia dalam mengatasi membludaknya para peziarah Katolik untuk menyaksikan atraksi wisata agung di hari Jumat Agung itu, karena rumah penduduk juga disiapkan untuk menampung peziarah tanpa ada pungutan biaya sepersen pun dari mereka.

Tradisi keagamaan yang merupakan warisan Portugis itu, sudah berlangsung lebih dari 500 tahun ketika bangsa Portugis menyebarkan agama Katolik dan berdagang cendana di Kepulauan Nusa Tenggara. Prosesi Jumat Agung itu diawali dari perayaan Rabu Trewa yang tahun ini jatuh pada 4 April 2012.

Trewa dalam tradisi Gereja Katolik artinya bunyi-bunyian, namun ritual keagamaan yang satu ini, sudah jarang dilakukan oleh Gereja Katolik lainnya, kecuali gereja-gereja Katolik yang ada di wilayah Keuskupan Larantuka, yang terbentang mulai dari Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor dan Lembata.

Gereja Katolik setempat mengizinkan bunyi musik atau bunyi benda lainnya seperti lonceng gereja hingga pukul 20.00 Wita. Selepas pukul 20.00 Wita menjelang perayaan Kamis Putih pada keesokan harinya, tidak lagi terdengar bunyi-bunyian tersebut. Larantuka larut dalam sepi mengenang kisah sengsara Yesus Kristus sampai wafat di kayu salib pada Jumat Agung (6/4).

Sebelum tibanya Jumat Agung, umat Katolik dan para peziarah lainnya merayakan misa untuk mengenang perjamuan malam terakhir antara Yesus Kristus dengan murid-muridNya pada perayaan Kamis Putih (5/4).

Kota kecil di ujung timur Pulau Flores itu masih tetap sunyi senyap sepertinya halnya Nyepi bagi umat Hindu di Bali. Pada pagi harinya di hari Kamis Putih itu, arca Tuan Ma (patung Bunda Maria) yang tersimpan di Kapel Maria Pante Kebis itu mulai dimandikan oleh lima suku besar di Larantuka.

Upacara pemandian ini tertutup untuk umum. Namun, setelah pemandian, para peziarah biasanya mengambil air mandi bekas pemandian Tuan Ma di sebuah bak penampungan lalu dipindahkan ke botol untuk dibawa pulang. Air bekas pemandian Tuan Ma itu diyakini memiliki khasiat.

Satu Tahun Sekali
Tuan Ma hanya dikeluarkan setahun sekali saat tibanya perayaan Paskah. Untuk pertama kalinya, hanya keluarga kerajaan yang boleh mencium Tuan Ma. Sekitar pukul 22.00 Wita pada Kamis Putih itu, umat mulai melakukan lamentasi (ratapan Nabi Yeremia) hingga Jumat pagi di Gereja Katedral Larantuka.

Dari titik lamentasi itu, para peziarah diizinkan untuk mencium Tuan Ma di Kapel Pante Kebis dan Tuan Ana di Kapel Lohayong. Ritual mencium Tuan Ma dan Tuan Ana ini berlangsung hingga Jumat pukul 13.00 Wita.

Rangkaian prosesi Jumat Agung dimulai dengan perarakan Tuan Ma dan Tuan Ana ke Katedral Reinha Rosari Larantuka. Mulai pukul 14.00 Wita, Tuan Ma menjemput Tuan Ana, lalu masuk ke gereja dengan iringan ribuan peziarah Katolik yang datang dari berbagai belahan nusantara dan mancanegara.

Duta Besar Portugal untuk Indonesia Carlos Manuel Leitao Frota bersama isteri Ny Arlinda Chavez Frota, kata Matutina, dipastikan menghadiri prosesi Jumat Agung di Kota Larantuka, selain Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu dan beberapa menteri KIB II juga direncanakan mengikuti prosesi Semana Santa di Larantuka.

"Pejabat negara yang sudah pasti mengikuti prosesi Jumat Agung di Larantuka adalah Dubes Portugal beserta istri dan juga Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. Kalau beberapa menteri lainnya seperti Menhan belum ada kepastian," katanya.

Prosesi Jumat Agung dapat dihayati sebagai perenungan mengikuti perjalanan Bunda Maria yang begitu berduka cita dalam mengikuti penderitaan putranya Yesus Kristus.

Larantuka secara historis-religis, juga terkenal dengan sebutan Kota Reinha. Kota tua kecil yang terletak di kaki Ile Mandiri itu telah menyerahkan seluruh kehidupannya kepada perlindungan Bunda Maria.

Sejarah mencatat, semenjak kedatangan Portugis pada abad XV-XVI, sejak itu pula pengaruh Portugis mulai tertanam dalam proses kehidupan masyarakat Larantuka.

Salah satu peninggalan terbesar dan tetap tinggal dan dilanjutkan hingga dewasa ini adalah pelaksanaan ritus prosesi Jumat Agung pada musim Paskah setiap tahun.

Dalam tradisi gereja Katolik di Flores Timur, khusunya di Larantuka, hari Kamis Putih difokuskan oleh umat Katolik setempat untuk melakukan kegiatan "tikan turo" atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada keesokan harinya (6/4).

Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan sebutan kota Reinha Rosari itu, hening mencekam karena sedang dilakukan kegiatan "tikan turo" oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan pada Jumat Agung) sesuai promesanya (nasar).

Ketika itu juga, aktivitas di kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dimulai dengan upacara "Muda Tuan" (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) oleh petugas conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah.

Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi dengan busana perkabungan berupa sehelai mantel warna hitam, ungu atau beludru biru.

Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan itu dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).

Sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka itu.

Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai melakukan kegiatan "cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana" dalam suasana hening dan sakral.

Sejarah Katolik di Larantuka
Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda pula.

Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.

Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut ceritra legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.

Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.

Sekitar tahun 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.

Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.

Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.

Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda. Selama lima abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.

Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).

Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar "Semana Santa" dan Prosesi Jumad Agung atau "Sesta Vera". Kedua ritual ini dikenal sebagai "anak sejarah nagi" juga sebagai `gembala tradisi` di tanah nagi-Larantuka.

Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya.

Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin. Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci.

Pada hari Jumat pagi sekitar pukul 10:00 Wita, ritus Tuan Meninu (Arca Yesus) dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu (Laskar Laut) diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral.

Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja Larantuka dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih.

Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15:00 Wita, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.

Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan buah perhentian (armida), yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St. Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce dan Armida Desa Lohayong.

Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.

Prosesi Jumat Agung adalah sebuah perarakan yang begitu semarak dan sakral. Sejak perarakan keluar dari gereja, para "ana muji" melagukan "popule meus" yang mengisahkan tentang keluhan Allah akan rahmat dan kebaikan-Nya yang disia-siakan oleh umat-Nya.

Sementara puteri-puteri Yerusalem meratapi penderitaan dan kesengsaraan Kristus dalam alunan "ejus domine".

Di setiap Armida (perhentian), dalam keheningan nan bening, ketika semua doa dan lagu dihentikan berkumandanglah ratapan Kristus yang memilukan...Ovos omnes est dolor sicut dolor meus" (Wahai kalian yang melintas dijalan ini adakah deritamu sehebat deritaku).

Lagu pilu ini dinyanyikan oleh seorang perempuan berkerudung biru, sembari secara perlahan-lahan membuka gulungan berlukiskan "ecce homo" atau wajah Yesus bermahkota duri yang berlumuran darah.

Momentum ini kembali mengingatkan peristiwa Veronika menyapu wajah Yesus ketika dalam perjalanan berdarah menuju bukit tengkorak (Golgota) yang kemudian disusul dengan lagu "sinyor deo missericordia" yang begitu agung oleh barisan Confreria.

Prosesi Jumat Agung di kota kecil Larantuka itu tetap akan abadi, karena tradisi keagamaan itu telah berubah wujud menjadi sebuah wisata rohani yang mengundang begitu banyak peziarah Katolik untuk melihat dari dekat warisan budaya peninggalan bangsa Portugal di ujung timur Pulau Flores itu.
(L003*Z003)

Sample Text

maryantosilvester.blogspot.com. Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Posts

Pelajaran Blog Cara Membuat Form Link Exchange/Tukar Link. Pelajaran Blog Cara Membuat Form Link Exchange/Tukar Link. Pelajaran Blog Cara Membuat Form Link Exchange/Tukar Link.
Gambar 1 Gambar 2

Tips

Blogger templates

Download

Blogger templates

About

Copyright © 2012 Kehidupan AdonaraTemplate by : UrangkuraiPowered by Blogger.Please upgrade to a Modern Browser.